Jumat, 04 Mei 2012

Bahan Bacaan


                                                        

PENYIMPANGAN MAKNA*)

         Perlu dipahami Baik-Baik

Dalam pembicaraan mengenai pembentukan kata melalui proses afiksasi, acapkali adanya pendapat yang mengemukakan bahwa sejumlah kata bentukan yang maknanya menyimpang dari pola makna kaidah yang berlaku, atau maknanya harus ditelusuri satu persatu secara leksikal karena tidak bisa dicari polanya. Umpamanya, kata mempersempit, memperluas, dan memperpendek memiliki pola makna yang sama yaitu ‘membuat lebih…’, tetapi kata memperpanjang bermakna ‘menambah masa berlaku’ (Alwi 1998:129). Contoh lain kata meninggikan, memuliakan, dan mensucikan memiliki pola makna yang sama, yaitu ‘membuat jadi…’, tetapi kata mengindahkan bermakna ‘memperhatikan’. Kata-kata lain yang dikatakan maknanya menyimpang atau tidak dapat dipolakan , antara lain adalah:
1.  - mempersoalkan                     - mempermasalahkan
     - mempertunjukkan                 - memperjualbelikan
2.  - mengalah      - menghilang    - menjadi
3.  - menarik         - memikat         - mencekam
4.  - pendirian       - pendapatan
    - pemandangan            - pendengaran
Masalah kita di sini adalah bagaimana kita harus menyikapi dan melihat makna kata-kata turunan yang dikatakan menyimpang atau harus ditelusuri satu persatu secara leksikal karena tidak bisa dipolakan atau tidak bisa masuk ke dalam salah satu pola yang ada.
Kalau kita berbicara tentang makna sebenarnya pertama-tama kita harus membedakan antara yang disebut (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna sintaktikal/kontekstual, dan (4) makna idiomatikal. Tanpa memperhatikan dulu adanya pembedaan keempat macam makna tersebut kita akan mengalami kesulitan dalam menganalisis makna sebuah ujaran.
a.       Makna leksikal adalah makna yang dimiliki secara inheren oleh sebuah leksem/kata. Misalnya, kata kuda adalah ‘sejenis hewan berkaki empat yang biasa dikendarai’, makna leksikal kata spidol adalah ‘sejenis alat tulis bertinta’, dan makna leksikal kata buaya adalah ‘sejenis hewan reptil yang bisa hidup di darat dan di air’.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa untuk sekolah dasar dan menengah makna leksikal ini sering disebut sebagai makna kamus. Konsep ini bisa juga benar bisa juga tidak benar. Dikatakan benar kalau kamus yang dimaksud adalah kamus dasar, sebab kamus dasar memang hanya menjelaskan makna kata dengan makna leksikalnya. Namun, kalau kamusnya bukan kamus dasar, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep tersebut menjadi tidak benar karena Kamus Besar selain memberikan makna leksikal juga memberikan makna yang bukan makna leksikal, yakni makna polisemi, makna konteks, dan makna idiomatik.
b.       Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” dalam suatu proses gramatikal (proses afiksasi, proses reduplikasi, proses komposisi, maupun proses kalimatisasi). Dalam proses afiksasi kita lihat, misalnya pengimbuhan prefiks ber- pada dasar kuda, memunculkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’; pengimbuhan prefiks ber- pada dasar sepatu memunculkan makna gramatikal ‘memakai sepatu’, dan pengimbuhan pada dasar olahraga memunculkan makna gramatikal ‘melakukan olahraga’, contoh lain dalam proses penggabungan (komposisi) kata sate dengan kata ayam memunculkan makna gramatikal ‘bahan sate’; dalam proses penggabungan kata sate dengan kata Madura memunculkan makna gramatikal ‘asal sate’; dan dalam proses penggabungan kata sate dengan kata lontong memunculkan makna gramatikal ‘campuran sate’.
Makna gramatikal ini dapat dicari kaidahnya atau polanya.misalnya prefiks ber- jika diimbuhkan pada dasar yang berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan] akan memunculkan makna ‘memakai’, seperti pada kata-kata:
5.   berjilbab, berdasi, berjaket kulit,
   bergelang, bergiwang, berbulu mata palsu.
Contoh lain prefiks me- bila diimbuhkan pada bentuk dasar yang berfitur semantik [+sifat], [+keadaan] akan memunculkan makna gramatikal ‘menjadi…’, seperti pada kata-kata:
6.    membengkok, menguning,
       meninggi, mengecil, menjauh.
      Contoh lain lagi, konfiks ke-an bila diimbuhkan pada bentuk pada bentuk dasar yang memiliki fitur  makna [+keadaan sikap] memunculkan makna gramatikal ‘hal…’, seperti pada kata-kata berikut:
7.    keberanian, ketakutan,
    kekecewaan, kebingungan, kesedihan
 Dari ketiga contoh di atas (nomor 5, 6, dan 7) tampak bahwa makan gramatikal pada proses afiksasi ditentukan oleh fitur semantik bentuk dasarnya. Makna-makna kata bentukan yang tidak bisa dikaidahkan atau tidak bisa dimasukkan ke dalam satu bentuk kaidah, tentulah bukan bermakna gramatikal 
c.       Makna kontekstual adalah makna sebuah kata atau gabungan kata atau suatu ujaran di dalam konteks pemakaiannya. Konteks di sini bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau konteks bidang pemakaian.
Sebagai contoh makna kontekstual dalam konteks kalimat, perhatikan makna kata mengambil pada kalimat-kalimat berikut.
8.        a). Anak itu mengambil buku saya.
 b). Semester ini saya belum mengambil mata kuliah kewiraan.
 c). Kabarnya Pak Lurah akan mengambil pemuda itu sebagai sopirnya.
 d). Dalam hal itu kami harus pandai-pandai mengambil kesempatan.
 e). Tahun depan kami akan mengambil 10 orang pegawai baru.
kata mengambil pada kalimat (8a) adalah masih dalam makna leksikalnya yaitu menjemput sesuatu lalu membawanya, pada kalimat (8b) kata mengambil bermakna kotekstual ‘mengikuti’, pada kalimat (8c) bermakna ‘menjadikan’, pada kalimat (8d) bermakna ‘menggunakan’, dan pada kalimat (8e) bermksud ‘menerima’.
Dalam studi semantik pelbagai makna yang dimiliki oleh sebuah kata yang digunakan dalam konteks kalimat berbeda seperti dicontohkan oleh kata mengambil pada kalimat-kalimat (8) di atas disebut makna polisemi. Makna-makna polisemi ini mempunyai keterkaitan semantik dengan makna leksikal dari kata yang dipolisemikan, termasuk keterkaitan asosiasi dan perbandingan. Untuk jelasnya kita ambil kata kepala. Makna leksikal kata kepala adalah ‘bagian tubuh manusia (binatang) dari leher ke atas. Sekarang perhatikan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
9          a). Ibunya menjadi kepala sekolah di Jakarta.
 b). Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
 c). Kepala paku itu agak bundar.
 d). Setiap kepala mendapat bantuan Rp 10.000,00.
 e). Tamu kehormatan duduk di kepala meja.
makna polisemi, kata kepala pada kalimat (9a) adalah pemimpin (sekolah), pada kalimat (9b) adalah bagian atas/kertas surat, pada kalimat (9c) adalah menyerupai (bentuk) kepala, pada kalimat (9d) adalah ‘orang’, dan pada kalimat (9e) adalah ‘bagian utama dari meja’. Makna ‘pemimpin’ pada kalimat (9a) dengan kaitan makna leksikalnya adalah bahwa kepala merupakan bagian utama pada manusia, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kepala. Hal ini sama dengan sekolah, sebuah sekolah harus dipimpin oleh seorang kepala. Makna ‘bagian sebelah atas’ pada kalimat (9b) memiliki kaitan dengan kepala, yaitu bahwa kepala terletak di sebelah atas, sama dengan letaknya kepala surat itu yang juga di sebelah atas. Makna ‘menyerupai’ pada kalimat (9c) juga mempunyai kaitan dengan kepala, yaitu bahwa kepala berbentuk bulat, sama dengan kepala paku yang juga relatif bulat.
Kemudian, yang disebut makna asosiasi atau makna kias, juga mempunyai ‘kaitan semantik dengan makna leksikalnya. Misalnya kata bunga dalam kalimat (10) adalah berarti ‘gadis cantik’.
10   a). Aminah adalah bunga di desa kami.
Yang dikaitkan adalah kecantikan Aminah dengan keindahan bunga. gadis cantik diasosiasikan dengan bunga. Bunga di mana-mana disukai orang karena keindahannya, sedangkan gadis cantik karena kecantikannya, apalagi kalau ditambah keluwesannya.
Makna kontekstual dalam konteks situasi biasanya berbentuk ujaran. Maka makna ujaran itu bergantung pada konteks situasinya. Umpamanya ujaran “Sudah hampir pukul dua belas”. Ujaran tersebut bila diucapakan oleh seoarng ibu asrama putri pada malam hari, ditujukan pada seorang pemuda yang masih bertamu akan bermakna ‘permintaan atau peringatan agra pemuda tersebut harus segera pulang’. kalau diucapkan seorang ustadz siang hari di sebuah pondok pesantern akan bermakna ‘peringatan pada anak-anak bahwa sebentar lagi waktu shalat dzuhur akan tiba’. Jadi, ujaran, “Sudah hampir pukul dua belas” bukanlah bermakna memberitahukan soal waktu, melainkan memberitahukan yang lain berkenaan dengan waktu itu.
Konteks bidang pemakaian dapat kita lihat perbedaan makna kata servis pada kalimat-kalimat berikut:
11  a). Servisnya melambung tinggi.
b). Mobil ini selalu saya servis di bengkel itu.
c). Maskannya enak, harganya murah, servisnya pun memuaskan.
Kata servis pada kalimat (11a) berasal dari bidang olahraga maknanya adalah ‘pukulan bola pertama (pada permainan badminton atau tennis)’. Kata servis pada kalimat (11b) berasal dari bidang perbengkelan, maknanya adalah ‘perbaikan atau perawatan’. Sedangkan kata servis pada kalimat (11c) berasal dari bidang jasa, maknanya adalah ‘pelayanan’.
d.      Makna Idiomatik adalah makna suatu bentuk ujaran, bisa berupa kata gabungan kata (frase) atau klausa, yang tidak bisa dilacak secara leksikal maupun gramtikal. Umpamannya, gabungan afiks me-kan pada kata dasar adjektiva yang berfitur semantik [+keadaan], atau [+sikap] akan memberi makna gramatikal ‘membuat jadi…’ seperti terdapat pada kata mengalahkan, melebarkan, dan menakutkan tetapi pada kata menggalakkan, dan memenangkan tidak bermakna ‘membuat jadi…’, melainkan bermakna meningkatkan, menggiatkan’ pada kata menggalakkan dan ‘memperoleh’ pada kata memenangkan. Contoh lain, konfiks yang diimbuhkan pada kata dasar adjektiva berfitur semantik [+keadaan, sikap] memiliki makna gramatikal ‘hal…’, seperti terdapat pada kata ketakutan, kesedihan, dan keberanian. Namun, pada kata kemaluan tidak bermakna ‘hal malu …’, melainkan bermakna… (maaf, tentu anda sudah tahu sendiri).
Dalam bahasa Indonesia banyak kata dapati satuan ujaran baik berupa kata, gabungan kata, atau klausa yang bermakna idiomatik. Karena maknanya tidak bisa diprediksi secara leksikal maupun gramatikal, maka untuk memahaminya harus dipelajari melalui kamus, atau cara lainnya. Berikut diberikan sejumlah satuan ujaran yang bermakna idiomatik.
12.    - meninggal                             - berpulang                               - tertulang
         - memeras keringat                 - membanting tulang                  - keras kepala
         - air mata pengantin                - puteri malu
Sekarang kita kembali pada data yang diberikan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan yang dikatakan maknanya menyimpang harus ditelusuri satu persatu karena tidak dapat dipolakan. Pertama-tama harus kita pahami dulu, bahwa yang dimaksud dengan tidak bisa dipolakan adalah tidak bisa dikaidahkan secara gramatikal, dan yang disebut menyimpang adalah tidak sesuai dengan makna gramatikal yang seharusnya dimiliki. Benarkah yang disodorkan sebagai contoh adalah kata-kata yang maknanya menyimpang dari kaidah-kaidah, mari kita lihat.

 Mengenai kasus memperpanjang dan kata mengindahkan. Secara gramatikal kata memperpanjang bermakna ‘membuat lebih panjang’. Lalu, dalam penggunaan bahasa sekarang kata memperpanjang lazim diartikan sebagai ‘menambah masa berlaku’ (Alwi 1998:129). Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia makna kata memperpanjang telah menyimpang dari kaidahnya. Menurut kami makna ‘menambah masa berlaku’ memang bukan makna gramatikal, melainkan makna pemakaian atau penggunaan, yang secara semantik masih bisa ditelusuri sebagai makna polisemi. Yang bisa diperpanjang bukan hanya benda konkret seperti jalan raya atau landasan pesawat terbang, tetapi juga waktu atau masa berlakunya sesuatu.
Mengenai kata mengindahkan, secara gramatikal kata mengindahkan berarti ‘membuat jadi indah’, sama dengan makna gramatikal meluruskan, menguningkan, dan melemahkan. Namun, secara aktual kata mengindahkan dengan makna gramatikal tersebut tidak pernah ada, yang ada dengan makna tersebut adalah memperindah. Secara aktual kata mengindahkan muncul dengan makna ‘memperhatikan’, mempedulikan’.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk kata dasar mengindahkan dengan makna gramatikal ‘membuat jadi indah’, berbeda bentuk dasarnya dengan kata mengindahkan yang bermakna ‘memperhatikan, mempedulikan’. Jika demikian sebenarnya tidak ada penyimpangan makna pada kata mengindahkan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (1), yaitu:
-  Mempersoalkan                     - mempertunjukkan
-  Mempermasalahkan               - memperjualbelikan
Sebetulnya maknannya tidak menyimpang dan tidak perlu ditelusuri satu persatu, sebab masih mengikuti kaidah-kaidah dengan makna gramatikal ‘menjadi (x) bahan per-an’. Jadi:
- mempersoalkan                       =  menjadikan (x) bahan persoalan
- mempermasalahkan                 =  menjadikan (x) bahan permasalahan
- mempertunjukkan                   =  menjadikan (x) bahan pertunjukan
- memperjualbelikan                   = menjadikan  (x) bahan perjualbelian
Kata memper-kan pada halaman yang sama (hal.130) sebetulnya keliru pemberian makna gramatikalnya. Maka kata memperjuangkan bukan ‘berjuang untuk’,melainkan ‘melakukan perjuangan’. Sama maknanya dengan mempergunjingkan yang juga berarti ‘melakukan pergunjingan’, bukan ‘bergunjing tentang’. Sedangkan makna kata mempertanyakan juga bukan ‘bertanya tentang’ melainkan ‘menjadikan (x) bahan pertanyaan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (2)
- mengalah                    - menghilang                
- menjadi                      - menujuh hari
bisa diberi komentar begini. Kata mengalah dan menghilang memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘menjadi…’. Kalau penulis Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menyatakan maknanya menyimpang, barangkali karena dilihat dari makna penggunaan seperti tertera dalam kamus. Memang kita harus bisa membedakan antara makna gramatikal dengan makna konteks/penggunaan. Kata pemotong, misalnya, bermakna gramatikal ‘yang memotong’, atau ‘alat yang memotong’. Begitu juga dengan kata mengalah dan menghilang. Dalam penggunaan kata mengalah berarti ‘mengaku kalah’, dan kata menghilang berarti ‘tidak tampak lagi’.
Pada kata menjadi, juga tidak terjadi penyimpangan makna. Prefiks me- pada kata menjadi hanya berfungsi memformalkan kata itu, sebab dalam pemakaian dapat juga prefiks me- itu ditinggalkan dengan makna leksikal yang sama. Kalimat Dia dilantik menjadi lurah sama makna konteksnya dengan kalimat Dia dilantik jadi lurah.
Kata menujuh hari mempunyai pola makna yang sama dengan bentuk meniga hari, menyeratus hari, dan menyeribu hari, yakni acara peringatan (dengan doa dan kenduri) atas meninggalnya seseorang pada hari ke…Jadi, sebenarnya juga tidak ada penyimpangan makna.
Menganai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (3) yaitu:
- menarik                      - memikat                     - mencekam
bisa dikomentari bahwa makna ketiga kata itu pun tidak bermasalah. Kata menarik, dan memikat memiliki makna gramatikal ‘melakukan tarik’ dan ‘melakukan pikat’. Dalam penggunaannya kedua kata itu bisa bermakna gramatikal, seperti dalam kalimat
13.  Kerbau menarik bajak.
14.  Mereka memikat burung di sana.
Namun, bisa juga bermakna polisemi dengan objek yang abstrak, seperti dalam kalimat:
15.  Dia ingin menarik perhatian penonton.
16.  Kami akan menyajikan acara yang memikat.
Yang dikatakan menyimpang oleh Buku Tata Bahasa Baku barangkali kata-kata menraik dan memikat yang sebenarnya berkategori verba, telah meyimpang menjadi berkategori adjektiva, karena kedua kata itu bisa diawali kata sangat menjadi sangat menarik dan sangat memikat.
Mengenai kasus kata-kata pada nomor (4), yaitu:
-  pendirian                               - pendapatan
-  Pemandangan                        - pendengaran
Bisa diberi komentar, bahwa keempat kata itu memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘hal me-kan’, atau ‘proses me-kan’. Jadi:
- pendirian           =  hal atau proses mendirikan
- pendapatan        =  hal atau proses mendapatkan
- pemandangan    =  hal atau proses memandang
- pendengaran      =  hal atau proses mendengar

 Dalam penggunaannya kata pendirian memiliki makna ‘sikap batin’. Apakah makna ini menyimpang? Kiranya makna ‘sikap batin’ ini masih punya kaitan dengan makna gramatikal ‘hal mendirikan’, sebab yang didirikan bukan hanya ‘sesuatu yang konkret, seperti gedung dan jembatan, tetapi bisa juga yang abstrak seperti sikap batin itu. kata pendapatan dalam penggunaannya memiliki makna ‘(uang) yang didapat, penghasilan’. Mengapa bisa begitu? Karena hasil dari proses mendapatkan adalah sesuatu yang didapat atau dihasilkan. Jadi, makna gramatikal dan makna penggunaannya masih mempunyai hubungan atau keterkaitan. Kata pemandangan dalam penggunaannnya memiliki makna ‘yang dipandang (dilihat)’, atau ‘hasil memandang (melihat)’. Makna penggunaan ini pun masih mempunyai hubungan dengan makna gramatikalnya. Terakhir, kata pendengaran dalam penggunaannya memiliki makna ‘hasil mendengarkan’ atau ‘alat untuk mendengar’. Perhatikan makna kata pendengaran tersebut dalam kalimat:
17.  Menurut pendengaran saya mereka segera akan menikah.
18.  Agak sulit juga berbicara dengan oaring yang pendengarannya kurang seperti beliau.
Di sisi pun, antara makna gramatikal dan makna penggunaan masih ada keterkaitan, sebab ‘proses mendengarkan’ sebagai makna gramatikal dari pendengaran memerlukan ‘alat untuk mendengarkan ‘, dan memberikan ‘hasil dari mendengarkan’ itu.

Dari pembahasan di atas kiranya dapat ditarik komentar:
Pertama, kita harus bisa membedakan makna gramatikal yang memang berkaidah atau berpola dengan makna penggunaan yang biasanya berupa berbagai makna polisemi dari makna gramtikal itu.
Kedua, kita harus bisa membedakan antara makna yang secara inheren terdapat pada sebuah kata dengan bentuk sinonim dari kata itu.
Ketiga, makna yang menyimpang secara leksikal dan gramatikal hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang disebut idiom, baik yang berupa kata, gabungan kata ataupun klausa.



*)Disampaikan pada SPASI
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mahasiswa UNISDA Lamongan tahun 2008
di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur


DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------. 1997. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Nida, E.A. 1979. Componental Analysis of Meaning. The Haque: Mouton.
Slametmuljana. 1964. Semantik. Djakarta: Djambatan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sabtu, 28 April 2012

Kumpulan Cerita Rakyat dan Dongeng



Di Bawah Pohon Rindang

Alkisah di sebuah padang pasir siang itu terik matahari membuat udara terasa begitu panas. Angin bertiup kencang menerbangkan debu kian kemari. Para musafir dan saudagar yang sedang dalam perjalanan memutuskan untuk beristirahat. Namun, tak ada satu tempat pun untuk berteduh, kecuali sebuah pohon yang tumbuh menyendiri di tengah padang pasir itu. Maka orang-orang berbondong-bondong berteduh di bawahnya.
“Lebih baik kita melanjutkan perjalanan sore nanti”, ujar salah seorang di antara mereka.
“Benar, siang ini udara sangat panas,” sahut yang lain.
Sesaat kemudian datanglah seorang pengemis tua. Tubuhnya kurus dan pakaiannya kotor serta compang-camping. Orang-orang mengusirnya ketika orang tua itu mendekat.
“Aku tidak meminta sedekah kalian. Aku hanya ingin berteduh,” seru pengemis itu mengiba.
“Akan tetapi, kedatanganmu mengganggu kami,” bentak salah seorang dari mereka.
“Tubuhnya sangat bau!” tambah yang lain.
“Biar dia mandi satu minggu, baunya tidak akan hilang!” kata yang lain lagi. Orang-orang tertawa mendengarnya. Sementara pengemis tua itu tetap berdiri kepanasan.
Tidak lama berselang, datanglah seseorang dengan berpakaian jubah putih dan janggut sama putihnya. Orang itu tampak berwibawa. Orang-orang segera memberi hormat. Bahkan, mempersilakannya berteduh bersama mereka.
“Maukah kalian kuceritakan sesuatu tentang keadilan?” tanya lelaki itu dengan suara mantap.
“Kami akan mendengarkannya, tuan Guru,” jawab orang-orang serentak. Kemudian lelaki yang dipanggil Tuan Guru itu bicara.
“Menurut cerita ada seorang petani menanam gandum. Ketika gandum itu sudah matang, petani itu hendak memanennya. Akan tetapi, datanglah seorang penguasa merampas seluruh gandumnya. Petani itu tidak mendapatkan apa-apa, adilkah itu?”
“Tentu tidak adil, Tuan Guru,” jawab orang-orang kembali serentak.
“Tahukah kalian juga melakukan ketidakadilan seperti itu?” Orang-orang terkejut. Mereka saling berpandangan.
“Tunjukanlah perbuatan kami yang tidak adil itu, tuan guru, agar kami dapat memperbaikinya,” kata salah seorang di antaranya. Dengan tenang guru itu berkata sambil memandang pengemis tua yang masih berdiri kepanasan.
“Kalian telah merampas hak orang yang menabur biji pohon ini untuk berteduh. Kalian saja seperti penguasa yang kuceritakan tadi. Ketahuilah pengemis itulah yang telah menabur biji di tanah ini dua tahun yang lalu. Aku melihatnya sendiri dan kusaksikan pohon ini tumbuh dari hari ke hari.”
Demi mendengar guru itu, orang-orang segera mempersilakan pengemis itu berteduh bersama mereka.

õõõ



 Nyanyian Burung Kenari

Di suatu negeri, terdapat sebuah istana yang megah. Di istana itu tinggal Baginda Raja. Di belakang istana terhampar hutan pinus. Di hutan pinus tinggallah seekor burung kenari. Burung kenari itu sering memperdengarkan nyanyiannya yang amat merdu. Setiap orang yang mendengarnya akan terpikat. Kemerduan nyanyian burung kenari itu telah tersebar ke seluruh negeri.
Baginda Raja pun mendengar kemerduan nyanyian burung itu. Ia ingin mengetahui kebenaran beritannya. Ia memerintahkan punggawa untuk mencari burung itu. Punggawa harus membawa burung itu ke istana. Punggawa pergi ke hutan pinus.
Tidak lama kemudian, terdengar sayup-sayup nyanyian burung kenari. Punggawa mendekat sumber nyanyian itu. Ia terpukau mendengar nyanyian burung itu. Ketika burung kenari selesai bernyanyi, ia menyampaikan pesan baginda kepada burung itu. Burung kenari bersedia ikut ke istana. Baginda Raja ingin mendengar kemerduan suaranya.
Burung kenari pun mengikuti Punggawa ke istana. Setiba di sana, burung kenari ditempatkan di sangkar emas oleh baginda. Keesokan harinya burung kenari menyanyi. Nyanyian burung itu menyentuh hati Baginda.  Ternyata berita tentang kemerduan nyanyian burung itu benar. Sejak itulah, burung kenari selalu bernyanyi untuk menghibur hati Baginda.
Hari demi hari berlalu, lama-kelamaan burung kenari merasa jemu. Burung kenari merindukan kebebasan. Ia ingin tinggal di hutan pinus seperti dahulu. Tanpa sepengetahuan Baginda, burung kenari meninggalkan sangkarnya. Burung itu terbang ke hutan pinus.
Sepeninggal burung kenari hati Baginda menjadi sedih, ia merindukan nyanyian burung itu. Baginda jatuh sakit karena rasa rindunya. Beberapa ahli pengobatan mengobati sakit Baginda. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang berhasil mengobatinya.
Burung kenari mendengar berita tantang sakitnya Baginda Raja. Kemudian, burung itu terbang ke istana. Di sisi pembaringan Baginda Raja, burung itu bernyanyi. Nyanyiannya membangunkan Sang Raja. Alangkah gembira hati Baginda ketika melihat burung kenari. Kehadiran dan nyanyian burung kenari mengobati sakit Baginda Raja.seketika itulah, Baginda sembuh dari sakitnya. Burung kenari senang melihat Baginda Raja sehat.
Baginda Raja berterima kasih kepada burung kenari. Baginda Raja menghendaki agar burung kenari tinggal di istana. Burung kenari menolak permintaan Baginda Raja. Ia ingin hidup bebas di hutan pinus. Baginda Raja memahami keinginan burung itu. Ia tak bisa memaksanya untuk tinggal di istana. Akhirnya, burung kenari terbang kembali ke hutan pinus. Ia hidup bebas di hutan pinus.

õõõ


Si Jenggot dan Si Tanduk

Daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat, dikenal sebagai daerah peternakan. Di sebagian besar daerah ini banyak terdapat padang rumput atau stepa dan sabana. Padang rumput di sebelah timur Dompu dikenal sebagai daerah populasi kambing.
Dari arah selatan mengalir sebuah sungai yang membagi dua padang rumput tersebut. Akibatnya, terbentuklah kawanan kambing sebelah barat dan kawanan kambing sebelah timur. Setiap kawanan dipimpin oleh kambing yang dianggap paling berani dan paling kuat di antara kambing-kambing lainnya. Kawanan kambing sebelah timur dipimpin oleh si jenggot, sedangkan kawanan kambing sebelah barat dipimpin oleh si Tanduk.
Menjelang musim hujan, angin bertiup dengan kencangnya. Sebuah pohon kelapa di sebelah barat sungai roboh ke sebelah timur sungai sehingga membentuk sebuah jembatan. Alangkah gembiranya hati si Jenggot dan si Tanduk melihat jembatan tersebut. Impian mereka selama ini kini menjadi kenyataan.
Masing-masing ingin adu pamer kehebatan. Si Jenggot ingin memperlihatkan kehebatan jenggotnya kepada kambing-kambing di sebelah barat. Sebaliknya, si Tanduk ingin memamerkan kehebatan tanduknya pada kambing-kambing di sebelah timur.
Keesokan harinya, kedua pemimpin kambing itu sudah berada di samping jembatan pohon kelapa.
“Hei, Nggot! Jangan coba-coba mendahuluiku masuk ke jembatan ini! Kamu tidak takut dengan tandukku yang kekar ini?” gertak si Tanduk.
“Hei, Nduk! Jangan sok mengatur! Kamu belum tahu kehebatan jenggot keramatku?” balas si Jenggot.
Kedua kambing tersebut akhirnya sama-sama masuk meniti jembatan pohon kelapa. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Di atas jembatan keduanya bertarung sekuat tenaga. Mereka mengambil ancang-ancang, berlari, lalu menyerudukkan kepala satu sama lain. Bunyi benturan kepala keduanya terdengar sangat keras. Semua jurus dikerahkan. Akibatnya, keduanya terkulai lemah tak berdaya.


 Kisah Kerbau dan Ular 

Di sebuah terlihat seorang pemuda sedang membajak sawah. Ia membajak dengan menggunakan kerbaunya yang besar dan kuat. Kadang-kadang pemuda memecut kerbaunya jika hewan itu lamban dalm bekerja. Tentu saja kerbau itu diam saja walaupun diperlakukan demikian.
Tak jauh dari tempat itu ada seekor ular yang sedang memperhatikan si kerbau dan si pemuda. Ia amat kesal kepada kerbau itu karena ia tidak mau melawan. Dalam hati, ular itu berkata, “Alangkah penakutnya kerbau! Badannya saja yang besar dan kuat, tetapi tidak berani melawan manusia. Kerbau mau saja disuruh bekerja berat, tetapi tetap dipecut saja.”
Beberapa sast kemudian si pemuda beristirahat. Kerbau pun beristirahat sambil makan rumput. Ular lalu merayap mendekati kerbau.
“Hai, kerbau, kau memang binatang penakut! Badanmu saja yang besar dan kuat, tetapi kalah dengan manusia yang kecil dan lemah,” kata ular dengan kesal.
“Hai, ular, dengar perkataanku. Manusia walaupun kecil, tetapi lebih pintar dan punya kekuatan. Manusia itu memiliki akal sehingga ia dapat melakukan apa saja dengan akalnya,” jawab kerbau.
“Ah, kamu sok tahu, kerbau! Lihat saja! Jika manusia berani padaku, aku akan melilit dan menggigitnya. Akan kubuktikan nanti, “ kata ular sambil pergi meninggalkan kerbau.
“Coba kamu buktikan kalau berani,” tentang kerbau.
Ular pun merayap mendekati si pemuda yang sedang duduk beristirahat di bawah pohon. Melihat ada seekor ular merayap mendekatinya, pemuda itu segera waspada. Secepat kilat ia mengambil kayu yang kebetulan ada di dekatnya. Ular bertambah marah dan terus mengejar. Melihat ular yang terus berusaha menyerangnya, si pemuda pun memukul kepala ular dengan kayu. Ular tetap berusaha melawan dan ingin melilitnya, tetapi tak juga berhasil Akhirnya pemuda itu kembali memukul kepala ular dengan keras. Ular pun tidak berdaya, lalu dimasukan ke dlam karung.
Kerbau merasa kasiahn melihat nasib ular. Akan tetapi, dalam hatinya ia senang juga. Ia senang karena kesombongan ular akhirnya terbalas. Ya, bagaimanapun, manusia tetap lebih unggul daripada hewan berkat akalnya.

õõõ
Gara-Gara Telur Buaya 

Dahulu kala terdapat sebuah kampung di pinggir danau. Kampung itu bernama kampung nelayan Karena sebagian besar warganya adalah nelayan. Di sana hidup sebuah keluarga dengan anaknya yang bernama Zaidin. Bila mereka pergi mencari ikan, Zaidin tinggal menjaga rumah.
Pada suatu hari suami-istri itu seperti biasanya sedang mencari ikan di danau. Pada waktu mereka mengangkat jaring untuk kesekian kalinya, dalam jaring itu terlihat sebutir telur yang amat besar. Karena takut, telur itu mereka masukkan kembali ke dalam danau. Anehnya, setiap kali mereka mengangkat jarring, telur itu selalu terbawa lagi. Tidak ada satu pun ikan yang tertangkap.
Kejadian itu berulang terus, walaupun mereka pindahkan jaringnya ke tempat lain. Tampaknya telur itu ingin sekali ikut bersama mereka. Akhirnya, telur itu pun mereka bawa pulang.
Sampai di rumah, mereka Zaidin sedang tidur. Karena tidak berhasil mendapat ikan, sang ibu lalu merebus telur itu. Setelah matang, telur itu mereka makan sebagai lauk bersama nasi.
Begitu selesai makan, timbullah suatu keajaiban. Kedua suami istri itu perlahan-lahan berganti rupa menjadi ekor buaya besar. Akan tetapi, keajaiban itu tidak menimpa Zaidin. Ia belum sempat memakan telur itu karena masih tertidur.
Setelah terjaga dari tidurnya, Zaidi menjadi ketakutan. Ia menangis setelah ayah-ibunya menjadi sepasang buaya. Kedua ekor buaya tersebut segera membelai anak mereka itu. Setelah anaknya tenang, ayahnya menasihatinya, “Zaidin, jangan kau makan sisa telur di meja makan itu. Siapa saja yang memakan telur itu akan berubah wujud menjadi buaya.
Kedua buaya itu lalu masuk ke danau untuk bertempur dengan buaya outih. Buaya outih adlah buaya yang telah mengubah wujud mereka. Pesan lain juga mereka sampaikan untuk Zaidin. Apabila timbul warna merah pada air danau, berarti mereka kalah. Akan tetapi, bila timbul warna putih, berarti buaya putihlah yang kalah. Tanda itu akan terlihat bila hujan turun pada saat hari panas dan ada pelangi di langit.
Zaidin hanya termenung di tepi danau menunggu tanda dari kedua orang tuanya. Tiap hari ia memandang air danau. Ia berharap agar orang tuanya muncul lagi. Orang-orang kampung tidak tahu bahwa orang tua Zaidin telah berubah menjadi buaya. Mereka hanya tahu keduanya tewas tenggelam di danau.
Akhirnya, pada suatu hari hujan turun dan muncullah pelangi di langit. Tiba-tiba air danau menampakkan warna putih. Melihat itu, Zaidin yakin itu pertanda kedua orang tuanya telah memenangkan pertempuran dengan buaya putih. Akan tetapi, keduanya tak pernah kembali. Tinggallah Zaidin yang tetap menunggu dan terus menunggu hingga akhir hayatnya.


õõõ

Ayah

Konon di sebuah desa di pinggir hutan tinggal seorang ibu dan anak gadisnya. Ibu itu sudah tua., sedangkan anak gadisnya menginjak dewasa. Wari, demikian nama gadis tersebut. Wari sangat patuh kepada ibunya.
Kehidupan mereka sangat susah. Untuk makan sehari-hari saja, mereka harus mencari kayu bakar di hutan. Kayu itu lalu dijual ke pasar. Dari hasil penjualan kayu itulah mereka belikan makanan. Selain itu, mereka juga makan umbi-umbian. Ubi dan talas tumbuh di pekarangan gubuk mereka. Umbi-umbian lain, mereka dapat di pinggir atau di dalam hutan.
Kehidupan mereka yang susah itu, kini bertambah susah lagi. Ibu yang telah tua itu jatuh sakit. Telapak kaki hingga jari-jarinya terluka. Dari hari ke hari luka itu kian membengkak. Luka itu bernanah dan menimbulkan bau tidak sedap. Wari sangat sedih melihat keadaan ibunya yang  tak kunjung sembuh. Akan tetapi, demikian, ia tetap ke hutan mencari kayu bakar atau umbi-umbian.
Ketika Wari berada di hutan, tiba-tiba ia mendengar suara yang menakutkan. Wari gelisah dan ketakutan. Suara apakah itu? Demikian pikirnya.
Wari makin takut. Bulu romanya berdiri. Dia tidak kuat melangkah sedikit pun. Keringat dinginnya mengucur. Lh, bagaimana saya ini …, pikirnya.
“He … he …!” kembali suara itu terdengar. Kali ini makin keras. Bersamaan dengan itu, Wari jatuh tak sadarkan diri. Ia pingsan …
Eantah berapa lama Wari tak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menjadi tambah ngeri. Ia melihat kaki, ah, … kaki raksasa! Raksasa …!!! Ia hendak berteriak. Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara apa-apa. Itu kaki raksasa … ah, sebesar batang pohon, ih … betapa menakutkan!
“Ho … ho …! Sudah bangun, gadis kecil? Ho … ho,” suara raksasa itu terdengar keras. Saking kerasnya suara itu, dahan-dahan di sekitarnya bergoyang.
Wari bertambah takut. Ia ingin segera menghilang dari situ. Akan tetapi, ia tidak berdaya. Ia malah bertambah takut!
“Ah, jangan takut. Saya bukan raksasa jahat. Saya raksasa penolong. Ho…Ho…!
Walaupun demikian, Wari tetap saja takut.
“Ho…Ho…jangan takut! Jangan takut! He…he, tampaknya kamu sedang susah. Ada apa gerangan? Ho…Ho…!
Wari tidak berani buka suara. Mulutnya trekatup rapat. Ia malah ketakutan melihat mata raksasa yang sebesar kepalan tangan sedang memelototi dirinya!
“Ho…Ho…! Belum bersuara juga, ho! Katakan, jangan takut. Saya akan menolongmu, ho…ho!” suara raksasa itu agak melemah.
“…Ya…ta…kut…!” suara Wari terputus-putus.
“Jangan takut! Saya sudah katakan, saya bukan raksasa biasa. Saya raksasa penolong. Ayo, katakan, gadis kecil!”
“Ibu…ku…sa…!” Wari berbicara terbata-bata.
“Aku kini ingat, ho, ibumu sakit?”
“Hm, ibumu kan tinggal di pinggir hutan ini?”
“Iya, betul,” Wari sudah mulai berani.
“Hmm, aku tahu. Ibumu adalah temanku… ho…ho!”
Wari heran. Kini ia malah bertanya-tanya, siapa raksasa itu?
“Ibumu sakit kaki, kan? Kakinya tersandung akar. Saat itu kami sedang bermain di sini. Ia bersembunyi dan saya mengejarnya. Ia lari dan tersandung…”
“Kakinya membengkak. Kini bernanah dan berbau busuk. Raksasa. Kok tahu ibuku?” tanya Wari.
“Iya, kami adalah…”
“Adalah apa?” tanya Wari.
Raksasa menggelengkan kepalanya. Ia tidak meneruskan bicaranya. Beberapa saat kemudian, ia malah bersedih.
“Sudahlah… jangan tanya-tanya siapa saya. Pulanglah dan  obati ibimu.”
Wari makin heran saja. Siapa sebenarnya raksasa yang kini bersedih di hadapannya ini? Untuk menghilangkan keherannya, Wari berkata.
“Ya, saya mau mengobati ibuku, tetapi obatnya tidak ada.”
“Oh, ya, ini bawa obatnya. Cepat obati ibumu!” Raksasa memberi sebungkus obat pada Wari.
Beberapa saat kemudian, Wari berlari-lari kecil menuju gubuknya. Sesekali ia menengok ke belakang. Melihat raksasa yang memberinya obat tadi.
Ia tiba di rumah dengan napas terengah-engah.
Sesampainya di rumah, ia menorehkan obat itu ke luka di kaki ibunya.
Esoknya, Wari kembali ke hutan dan ingin menjumpai raksasa itu. Akan tetapi, raksasa yang ia tunggu-tunggu tidak muncul. Ia pulang dengan kecewa. Akan tetapi, setibanya di gubuk, ia melihat ibunya sudah berdiri di halaman.
“Ibu sudah sehat?” tanya Wari heran.
“Ya, Nak. Lihatlah, kaki ibu sudah sembuh,”
maka berceritalah Wari tentang obat itu dan tentang pertemuannya dengan raksasa.
“Raksasa,?” kamu bertemu dengannya?” tanya ibunya keheranan.
“Iya, raksasa itulah yang memberi saya obat itu, Bu!”
“Oh, Anakku! Kau telah bertemu ayahmu…! Raksasa itu adalah ayahmu. Itu sudah takdir. Ia salah makan daun-daunan hutan. Setelah memakannya, tiba-tiba badannya membengkak. Lama-kelamaan, ia menjadi raksasa. Sejak saat itu, ia menghilang di dalam hutan. Ia malu bertemu ibu.”
“Katanya ia sering bermain dengan ibu.”
“Iya, tetapi tidak sering betul. Ibu mengajaknya pulang, tetapi ayahmu tetap tidak mau. Apalagi bertemu denganmu, ia pasti malu.”
Kini Wari sudah mengerti. Mengapa raksasa itu bersedih ketika ia tanyakan siapa dirinya…


õõõ



Gara-Gara Lame

Dahulu kala, kucing dan tikus bersahabat. Ke mana tikus pergi, kucing selalu mengikuti. Begitu pula sebaliknya.
Suatu hari, tikus mengajak kucing pergi.
“Ke mana?” tanya kucing.
“Ayo, kita makan lame?” tanya kucing lagi. Yang dimkasud lame adalah singkong.
“Di mana kita bisa makan lame?” tanya kucing lagi.
“Di sana, di rumah Pak Tani. Lamenya sangat banyak! Kita akan puas memakannya!” kata tikus bersemangat.
Kucing tertarik pada ajakan tikus. Maka malam itu, pergilah tikus dan kucing ke rumah Pak Tani. Rupanya di rumah itu sedang ada pesta pernikahan.
Kucing dan tikus menunggu sampai pesta itu usai. Mereka lalu membuat kesepakatan. Karena singkong-singkong itu digantung, tikus yang akan memanjat ke atas, sedangkan kucing menjaga di bawah. Sebelum memanjat tikus berpesan,”Jika sudah ada lame yang kujatuhkan, cepetlah kamu tangkap! Jangan sampai lame itu jatuh ke tempat yang lain! Nanti kita ketahuan!”
Tikus kemudian memanjat. Sesampainya di atas, ia mencari lame yang bagus dan besar, lalu dimakannya sendiri. Ia lupa pada si kucing.
“Kok. Lama betul tikus di atas?” kata kucing dalam hati. Ia mulai jengkel dan curiga.
Tikus keasyikan memakan lame-lame itu. Karena ingin makan lebih banyak, ia mengerat tali pengikat lame. Sewaktu mengerat, tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh. Sebelum terempas ke bawah, tikus berteriak,”Awas, cing, ini aku, bukan lame!”
Kucing yang sudah sangat kelaparan tidak peduli lagi, apakah yang jatuh itu lame atau bukan. Si Tikus langsung ditangkapnya saja begitu jatuh di tanah.
“Aduh, aku bukan lame! Aku tikus! Aku terpeleset hingga jatuh,” kata tikus ketakutan.
Kucing merasa kasihan juga. Akhirnya si tikus ia lepaskan.

õõõ






õ Kisah Sepasang Sandal Kulit õ


Dahulu kala di daerah Lombok, hiduplah seorang raja. Baginda Raja memiliki sepasang sandal dari kulit kerbau. Sandal kanan berasal dari kulit kerbau jantan dan sandal kiri dari kulit kerbau betina.
Konon, kedua sandal itu merupakan suami-istri. Keduanya bisa bercakap-cakap, walaupun hanya bisa didengar oleh mereka berdua saja.
Sandal ini sangat disayang raja. Ke mana-mana selalu dipakainya. Terlebih saat musim hujan karena sandal tersebut kuat dan tahan air.
Setiap malam, seekor tikus selalu mengintai mereka. Tampaknya si tikus tergiur dengan bau sandal kulit tersebut.
“Poqon!” panggil sandal jantan pada istrinya, si Sandal Betina. “Jika kita selalu diintip tikus yang kelaparan, lama-kelamaan kita bisa jadi mangsanya.bagaimana kalau kita berdo’a pada Tuhan agar dijadikan tikus saja?”
“Kalau itu maumu, aku menurut saja!” sahut istrinya.
“Kalau kita jadi tikus, semua makanan sisa di dapur istana bisa kita santap berdua,” tambah Sandal Jantan lagi. Sandal Betina setuju dengan usul suaminya itu.
Mereka pun berdoa dan terkabul. Berubahlah mereka menjadi dua ekor tikus besar. Kedua tikus itu sangat disegani oleh tikus-tikus lainnya.
Tikus-tikus itu selalu berkejaran di atap istana sehingga raja merasa terganggu. Beliau lalu mencari kucing untuk menangkap tikus-tikus itu.
Sepasang tikus jelmaan sandal itu mulai ketakutan. Akhirnya mereka mulai berdoa agar dijadikan kucing saja. Doa mereka terkabul lagi. Berubahlah sepasang tikus itu menjadi sepasang kucing yang elok. Ratu sangat menyayangi kedua hewan itu.
Beberapa waktu kemudian, kedua kucing itu merasa iri pada anjing karena selalu diajak berburu oleh raja. Akhirnya, setelah berdoa, mereka berubah menjadi sepasang anjing.
Setelah lama menjadi sepasang anjing pemburu, mereka merasa lelah dan bosan. Mereka berdoa kembali agar dijadikan raja dan ratu. Tuhan mengabulkan doa mereka. Kini, keduanya menjadi raja dan ratu. Mereka mendirikan kerajaan yang lebih besar. Namun, mereka belum puas juga. Keduanya ingin menguasai Lombok.
Berdirilah kerajaan baru ini terdengar oleh sang raja tempat mereka mengabdi dulu. Beliau merasa tersaingi dan terancam. Maka disusunlah rencana untuk menyerang kerajaan baru itu. Akhirnya, terjadilah pertempuran yang seru.
Kerajaan baru ternyata kalah. Raja dan ratunya berdoa lagi agar dijadikan tikus dan kembali. Namun, Tuhan akhirnya mengubah mereka menjadi sepasang sandal seperti semula.


õõõ


Asal Usul Durian

Zaman dahulu kala, Raja Baron Mai berkuasa di sebuah kerajaan di Filipina. Raja memiliki permaisuri yang masih muda dan sangat cantik. Akan tetapi, permaisuri tidak mencintainya karena raja sudah tua dan buruk rupa.
Tentu saja raja sedih. Dia lalu mencari bantuan seorang pertapa di Gunung Ipu. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang berat, akhirnya beliau sampai di Gunung Ipu. Di sana ia bertemu seorang pertapa.
Sang pertapa mendengarkan cerita Raja dengan takzim, lalu berkata, “Baiklah paduka saya akan membantu. Bawakan saya 12 sendok besar susu kerbau, satu telur burung tabon hitam, dan setangkai bunga dari pohon tipuan.
Raja kemudian mengerahkan seluruh pengawal dan petani kerajaan untuk tugas ini. Akhirnya, semuanya telah terkumpul, kecuali bunga dari pohon tipuan.
Raja menjadi sangat sedih karena, ternyata, persyaratannya masih kurang.
Tiba-tiba, malam itu ada seorang peri menampakkan diri dan berkata pada Raja, “Bunga tipuan yang paduka cari itu ada di hutan, dan dipakai oleh seorang peri di rambutnya. Akan tetapi, dia tidak akan memberikan bunga itu dengan mudah. Jika paduka mengikuti saya, maka saya dapat membantu untuk mendapatkannya.”
Raja kemudian mengikuti peri itu terbang ke angkasa. Perjalanan mereka cukup jauh, menuju hutan tempat para peri beristirahat. Sampai di sana, sang peri segera berubah menjadi burung kecil bersayap panjang. Dia terbang menukik dan mengambil bunga yang indah di rambut seorang peri dan membawanya pada Raja.
Raja sangat gembira. Dia kumpulkan ketiga bahan ramuan tersebut, lalu segera membawanya ke gua sang Pertapa.
Sang pertapa pun mulai bekerja, ai mengambil sari madu dari bunga pohon tipuan itu dan menuangkannya bersama susu ke dalam telur. Setelah selesai dia berkata, “Tanamlah ramuan dalam telur ini dalam taman dan biarkan permaisuri memakan buahnya,” katanya. “Kelak permaisuri akan jatuh cinta pada paduka. Akan tetapi ingat, Paduka harus mengundang saya saat pesta perayaannya.
Dengan perasaan tidak sabar, Raja langsung menanam telur itu di kebun istana. Keesokan harinya, telah tumbuh sebatang pohon besar di tempat itu. Buahnya indah, besar-besar dan tampak lezat.
Raja memetik satu dan memberikannya kepada permaisuri, tiba-tiba permaisuri langsung jatuh cinta pada Raja. Mantera sang pertapa ternyata ampuh.
Tentu saja Raja sangat gembira. Sebuah pesta besar diadakan. Seluruh rakyat diundang. Mereka bersuka ria selam tujuh hari tujuh malam. Akan tetapi, Raja lupa akan janjinya untuk mengundang sang Pertapa. Apa yang terjadi kemudian? Karena marah pada Raja. Ia menutuk buah yang dimakan permaisuri tadi menjadi buah yang berduri dan berbau tidak sedap.
Begitulah asal-usul durian. Buah berduri yang berbau tidak sedap, tetapi sangat nikmat rasanya. Siapa pun yang memakannya akan merasakan dagingnya terasa lembut seperti telur rebus, halus seperti susu, dan manis seperti sari madu.


õõõ

Telaga Warna

Pada zaman dahulu, terdapat sebuah kerajaan yang tentram dan damai. Kutatanggeuhan namanya. Rajanya adil dan bijaksana bernama Prabu Suwarnalaya. Beliau didampingi oleh permaisuri yang bernama Ratu Purbamanah. Karena kebijaksanaan Raja, kerajaan sangat makmur. Akan tetapi, baik raja maupun permaisuri masih merasa sedih. Mereka belum dianugerahi seorang anak pun. Akhirnya, sang Raja memutuskan untuk bertapa di dalam hutan. Pada suatu malam sang Raja mendengar sebuah suara. “Hai Prabu Suwarnalaya, apakah yang kau inginkan?”
“Hamba menginginkan anak”, ujar sang Raja.
“Baiklah jika begitu. Sekarang pulanglah,” kata suara itu. Maka sang Raja pun pulanglah.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, sang Permaisuri pun hamil. Setelah saatnya tiba, permaisuri melahirkan seorang anak yang cantik. Anak tersebut diberi nama Putri Gilang Rinukmi.
Semakin besar sang Putri semakin cantik. Karena ia anak satu-satunya. Ia sangatlah dimanjakan. Akibatnya, ia menjadi anak yang manja. Walaupun begitu, Raja, Permaisuri, dan rakyat tetap mencintainya.
Menjelang ulang tahun putri yang ketujuh belas, rakyat pun datang memberi hadiah berupa barang berharga, seperti uang emas, perhiasan, dan permata. Raja terharu. Beliau berterima kasih kepada rakyat begitu mencintainya. Akan tetapi Raja tidak mengambil semua hadiah itu. Beliau meminta agar barang-barang itu digunakan untuk kepentingan umum. Untuk sang Putri, beliau hanya mengambil beberapa perhiasan emas dan permata.
Seluruh warga kerajaan benar-benar menunggu saat penyerahan perhiasan itu kepada sang Putri. Mereka berkumpul di halaman istana. Puncak acara pun tiba. Raja Suwarnalaya berkata, “Warga Kutatanggeuhan yang baik, saya akan menyampaikan hadiah kalian untuk Putri Gilang Rinukmi.”
Suasana pun hening sejenak.”Anakku Gilang Rinukmi, ini adalah hadiah dari warga kerajaan sebagai ungkapan kegembiraan mereka karena kau sudah menginjak dewasa. Pakailah agar mereka melihat bahwa kau menerimanya dengan gembira.”
Sang Putri menerima kalung itu lalu melihat-lihatnya sejenak.”Saya tidak mau memakainya. Saya tidak suka,” kata sang Putri. Ia lalu membuang perhiasan itu.
Di dalam keheningan itu terdengarlah Permaisuri menangis. Rakyat pun ikut menangis. Pada saat itu suatu keajaiban terjadi. Dari dalam bumu keluarlah air yang jernih. Seakan-akan bumi pun ikut menangis. Air itu keluar dari mata air yang besar. Dalam waktu sekejap terbentuklah sebuah danau.
Sekarang danau itu disebut Telaga Warna. Air telaga itu akan terlihat berwarna-warni pada siang hari. Tampak indah sekali. Orang-orang mengatakan bahwa warna-warni itu datang dari perhiasan yang telah dibuang oleh sang Putri.

õõõ

Pan Kasim dan Ular

Pan Kasim seorang yang miskin. Ia mempunyai seorang isteri, tetapi tidak mempunyai anak. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang sudah reyot. Namun, Pan Kasim tetap tawakal. Ia tidak pernah mengeluh. Untuk menyambung hidup sehari-hari Pan Kasim mencari kayu bakar di hutan.
Suatu hari ketika Pan Kasim mencari kayu bakar di hutan, ia menemukan sebuah lubang. Bagian atas lubang tersebut tertutup rapat oelh sebatang pohon kayu
Yang baru tumbang. Dari dalam lubang itu terdengar suara orang yang sedang meratap. “Hai, Pan Kasim! Tolong singkirkan batang kayu yang merintangi jalan masuk ke tempat kediamanku!”
Pan Kasim sangat kaget ternyata yang berbicara itu adalah seekor ular besar. Pan Kasim tidak berani mendekat. Ular itu kembali berkata, “Pan Kasim, janganlah engkau takut menolong saya! Saya akan penuhi segala permintaanmu. Tolonglah saya, Pan Kasim!”
Pan Kasim akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat dan menyingkirkar kayu itu.
Setelah kayu besar itu diangkat dan disingkirkan, sang ular segera menanyakan apa yang Pan Kasim minta sebagai upah jerih payahnya.
“Sang ular, saya sudah lama hidup menderita. Kini saya ingin menjadi orang kaya, orang yang berkecukupan,”kata Pan Kasim.
“Pan Kasim engkau akan menjadi orang kaya dan berkecukupan,” kata sang ular.” Sekarang pulanglah segera!” kata ular lagi.
Setibanya di rumah, Pan Kasim sangat kaget! Rumahnya tiba-tiba menjadi mewah dan megah. Istrinya pun mengenakan pakaian yang indah dan mahal.
Pada mulanya Pan Kasim dan istrinya mersa puas setelah menjadi orang kaya dan berkecukupan. Akan tetapi, lama-kelamaan mereka iri kepada raja yang hidupnya lebih mewah. Selain itu, raja juga disegani orang. Oleh karena itulah, mereka pun ingin hidup seperti raja.
Atas desakan Men Kasim, istrinya, akhirnya Pan Kasim pergi lagi ke hutan untuk menemui ular. Pan Kasim memohon agar ia bisa menjadi raja. Permohonan Pan Kasim pun dikabulkan.
Sekarang Pan Kasim sudah menjadi raja. Pan Kasim dan istrinya hidup bahagia. Akan tetapi, beberapa lama kemudian istrinya merengek lagi. Karena ingin menuruti permintaan istrinya, Pan Kasim kembali ke hutan, ia menemui sang ular dan memohon agar dijadikan matahari. Sebab, lebih berkuasa daripada raja atau siapa pun.
Mendengar permintaan itu sang ular menjadi murka. Permintaan itu bukan saja ditolak. Akan tetapi, Pan Kasim dan istrinya malah dikembalikan menjadi miskin seperti semula.


õõõ

Sarah dan Seekor Merpati

Di sebuah dusun tinggallah seorang kakek dan cucunya, seorang gadis yang cantik jelita. Gadis itu bernama Sarah. Ia baik budi, pandai bercerita, dan pandai bernyanyi. Dengan kepandaiannya itum ia senang menghibur orang, terlebih-lebih anak kecil.
Setiap sore rumah Sarah penug dengan anak-anak kecil yang ingin mendengarkan cerita atau nyanyiannya. Sarah selalu memenuhi permintaan anak-anak itu dengan senang hati.
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di sungai. Sarah melihat seekor merpati tergeletak di jalan. Merpati itu luka parah. Salah satu sayapnya ditembak pemburu. Dengan iba, Sarah  membawa burung itu ke rumahnya dan merawatnya hingga sembuh.
Suatu pagi Sarah bermaksud melepas burung yang telah sembuh itu. Akan tetapi, sungguh aneh merpati itu tidak mau pergi. Lebih aneh lagi burung merpati itu bisa berbicara seperti manusia. Merpati itu minta izin tinggal bersama Sarah.
:Aku sebatang kara dui dunia ini izinkanlah aku tinggal bersamamu!” kata merpati itu.
Dengan senang hati Sarah mengabulkan permintaan burung itu. Sejak saat itu Sarah dan si burung merpati selalu menghibur anak-anak kecil.
Beberapa tahun kemudian kakek Sarah sakit keras. Kian hari sakitnya kian parah. Akhirnya, beliau pun meninggal dunia. Sarah sedih karena ia kini tinggal sebatang kara di dunia ini. Teman-teman Sarah dan merpati itu mencoba menghibur, tetapi Sarah tetap murung. Ia tidak mau lagi bercerita, apalagi bernyanyi. Setiap hari kerjanya hanya melamun. Hal ini berlangsung hingga suatu malam ia tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpinya ia didatangi seorang wanita cantik bernama Peri Kebaikan. Peri itu menyuruh Sarah pergi ke arah barat karena di sana ia akan menemukan kebahagiaan hidup. Setelah mengabarkan hal itu, Peri Kebaikan pun menghilang dan Sarah terjaga dari tidurnya.
Keesokan harinya Sarah menceritakan mimpinya itu kepada merpati. Burung itu menganjurkan agar sarah mengikuti petunjuk Peri Kebaikan. Sarah pun menyetujui saran merpati. Esok harinya, setelah berpamitan dengan kawan-kawannya, Sarah bersama merpati memulai perjalanannya.
Berhari-hari mereka mengembara. Bila kehabisan bekal, Sarah menyanyi dan bercerita. Orang-orang yang mendengarkan dengan senang hati memberinya uang atau makanan.
Sementara itu, hiduplah seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Samba. Raja itu sedang dirundung duka. Putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya menderita sakit keras. Telah berpuluh-puluh tabib sakti dipnggil untuk mengobatinya, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil.
Ketika sang raja sedang termenung memikirkan putranya, dia dikejutkan oleh kedatangan Peri Kebaikan. Peri itu memberitahu bahwa putranya akan sembuh bila mendengar suara gadis yatim piatu yang cantik dan baik budi. Gadis itu bernama sarah. Demikian kata Peri Kebaikan.
Setelah mengabarkan hal itu, Peri Kebaikan pun hilang. Raja Samba segera memanggil pengawal untuk mencari gadis yang bernama Sarah.
“Kalau ditemukan, lekas bawa dia ke hadapanku!” perintah Raja Samba.
Tidak sampai sehari, pengawal Raja berhasil menemukan Sarah dan menghadapkannya kepada Raja Samba. Sarah menurut saja saat Raja Samba minta pertolongannya, meski dia tidak yakin dapat mengobati putra mahkota yang sedang sakit itu.
Akan tetapi, keajaiban pun terjadi. Setelah mendengar suara Sarah, putra mahkota segera bangun dari tidurnya. Melihat kecantikan Sarah, putra mahkota tertarik, kemudian, putra mahkota minta izin ayahandanya untuk mempersunting Sarah. Raja Samba mengabulkan permintaannya. Sarah pun tidak menolak pinangan itu. Pada hari yang ditentukan, resmilah Sarah dan putra mahkota menjadi suami istri.
Suatu hari sarah bermaksud memberi makan merpatinya. Akan tetapi, burung itu sudah menghilang. Sarah mencari merpati itu, tapi tidak menemukannya. Akhirnya, Sarah menangis.
Pada saat itu, terdengar suara sapaan. Sarah terkejut setelah tahu siapa yang menyapanya. Ternyata, Peri Kebaikan. Peri itu menanyakan mengapa Sarah menangis. Sarah pun menceritakan peristiwa yang dialaminya. Peri Kebaikan tersenyum mendengar cerita Sarah. Sang Peri kemudian mengubah dirinya menjadi seekor merpati.
Peri yang baik itu kemudian menceritakan bahwa dia sengaja mengubah dirinya menjadi seekor merpati untuk menolong Sarah.
“Karena kau telah menolongku saat sebelah sayapku terluka ditembak para pemburu. Kini tugasku telah selesai. Kau telah menemukan kebahagiaan,” ungkap merpati.
Merpati mengepakkan sayapnya kemudian terbang tinggi. Tinggi sekali sampai hilang dari pandangan. Mata Sarah pun berkaca-kaca.