Jumat, 04 Mei 2012

Bahan Bacaan


                                                        

PENYIMPANGAN MAKNA*)

         Perlu dipahami Baik-Baik

Dalam pembicaraan mengenai pembentukan kata melalui proses afiksasi, acapkali adanya pendapat yang mengemukakan bahwa sejumlah kata bentukan yang maknanya menyimpang dari pola makna kaidah yang berlaku, atau maknanya harus ditelusuri satu persatu secara leksikal karena tidak bisa dicari polanya. Umpamanya, kata mempersempit, memperluas, dan memperpendek memiliki pola makna yang sama yaitu ‘membuat lebih…’, tetapi kata memperpanjang bermakna ‘menambah masa berlaku’ (Alwi 1998:129). Contoh lain kata meninggikan, memuliakan, dan mensucikan memiliki pola makna yang sama, yaitu ‘membuat jadi…’, tetapi kata mengindahkan bermakna ‘memperhatikan’. Kata-kata lain yang dikatakan maknanya menyimpang atau tidak dapat dipolakan , antara lain adalah:
1.  - mempersoalkan                     - mempermasalahkan
     - mempertunjukkan                 - memperjualbelikan
2.  - mengalah      - menghilang    - menjadi
3.  - menarik         - memikat         - mencekam
4.  - pendirian       - pendapatan
    - pemandangan            - pendengaran
Masalah kita di sini adalah bagaimana kita harus menyikapi dan melihat makna kata-kata turunan yang dikatakan menyimpang atau harus ditelusuri satu persatu secara leksikal karena tidak bisa dipolakan atau tidak bisa masuk ke dalam salah satu pola yang ada.
Kalau kita berbicara tentang makna sebenarnya pertama-tama kita harus membedakan antara yang disebut (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna sintaktikal/kontekstual, dan (4) makna idiomatikal. Tanpa memperhatikan dulu adanya pembedaan keempat macam makna tersebut kita akan mengalami kesulitan dalam menganalisis makna sebuah ujaran.
a.       Makna leksikal adalah makna yang dimiliki secara inheren oleh sebuah leksem/kata. Misalnya, kata kuda adalah ‘sejenis hewan berkaki empat yang biasa dikendarai’, makna leksikal kata spidol adalah ‘sejenis alat tulis bertinta’, dan makna leksikal kata buaya adalah ‘sejenis hewan reptil yang bisa hidup di darat dan di air’.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa untuk sekolah dasar dan menengah makna leksikal ini sering disebut sebagai makna kamus. Konsep ini bisa juga benar bisa juga tidak benar. Dikatakan benar kalau kamus yang dimaksud adalah kamus dasar, sebab kamus dasar memang hanya menjelaskan makna kata dengan makna leksikalnya. Namun, kalau kamusnya bukan kamus dasar, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep tersebut menjadi tidak benar karena Kamus Besar selain memberikan makna leksikal juga memberikan makna yang bukan makna leksikal, yakni makna polisemi, makna konteks, dan makna idiomatik.
b.       Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” dalam suatu proses gramatikal (proses afiksasi, proses reduplikasi, proses komposisi, maupun proses kalimatisasi). Dalam proses afiksasi kita lihat, misalnya pengimbuhan prefiks ber- pada dasar kuda, memunculkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’; pengimbuhan prefiks ber- pada dasar sepatu memunculkan makna gramatikal ‘memakai sepatu’, dan pengimbuhan pada dasar olahraga memunculkan makna gramatikal ‘melakukan olahraga’, contoh lain dalam proses penggabungan (komposisi) kata sate dengan kata ayam memunculkan makna gramatikal ‘bahan sate’; dalam proses penggabungan kata sate dengan kata Madura memunculkan makna gramatikal ‘asal sate’; dan dalam proses penggabungan kata sate dengan kata lontong memunculkan makna gramatikal ‘campuran sate’.
Makna gramatikal ini dapat dicari kaidahnya atau polanya.misalnya prefiks ber- jika diimbuhkan pada dasar yang berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan] akan memunculkan makna ‘memakai’, seperti pada kata-kata:
5.   berjilbab, berdasi, berjaket kulit,
   bergelang, bergiwang, berbulu mata palsu.
Contoh lain prefiks me- bila diimbuhkan pada bentuk dasar yang berfitur semantik [+sifat], [+keadaan] akan memunculkan makna gramatikal ‘menjadi…’, seperti pada kata-kata:
6.    membengkok, menguning,
       meninggi, mengecil, menjauh.
      Contoh lain lagi, konfiks ke-an bila diimbuhkan pada bentuk pada bentuk dasar yang memiliki fitur  makna [+keadaan sikap] memunculkan makna gramatikal ‘hal…’, seperti pada kata-kata berikut:
7.    keberanian, ketakutan,
    kekecewaan, kebingungan, kesedihan
 Dari ketiga contoh di atas (nomor 5, 6, dan 7) tampak bahwa makan gramatikal pada proses afiksasi ditentukan oleh fitur semantik bentuk dasarnya. Makna-makna kata bentukan yang tidak bisa dikaidahkan atau tidak bisa dimasukkan ke dalam satu bentuk kaidah, tentulah bukan bermakna gramatikal 
c.       Makna kontekstual adalah makna sebuah kata atau gabungan kata atau suatu ujaran di dalam konteks pemakaiannya. Konteks di sini bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau konteks bidang pemakaian.
Sebagai contoh makna kontekstual dalam konteks kalimat, perhatikan makna kata mengambil pada kalimat-kalimat berikut.
8.        a). Anak itu mengambil buku saya.
 b). Semester ini saya belum mengambil mata kuliah kewiraan.
 c). Kabarnya Pak Lurah akan mengambil pemuda itu sebagai sopirnya.
 d). Dalam hal itu kami harus pandai-pandai mengambil kesempatan.
 e). Tahun depan kami akan mengambil 10 orang pegawai baru.
kata mengambil pada kalimat (8a) adalah masih dalam makna leksikalnya yaitu menjemput sesuatu lalu membawanya, pada kalimat (8b) kata mengambil bermakna kotekstual ‘mengikuti’, pada kalimat (8c) bermakna ‘menjadikan’, pada kalimat (8d) bermakna ‘menggunakan’, dan pada kalimat (8e) bermksud ‘menerima’.
Dalam studi semantik pelbagai makna yang dimiliki oleh sebuah kata yang digunakan dalam konteks kalimat berbeda seperti dicontohkan oleh kata mengambil pada kalimat-kalimat (8) di atas disebut makna polisemi. Makna-makna polisemi ini mempunyai keterkaitan semantik dengan makna leksikal dari kata yang dipolisemikan, termasuk keterkaitan asosiasi dan perbandingan. Untuk jelasnya kita ambil kata kepala. Makna leksikal kata kepala adalah ‘bagian tubuh manusia (binatang) dari leher ke atas. Sekarang perhatikan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
9          a). Ibunya menjadi kepala sekolah di Jakarta.
 b). Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
 c). Kepala paku itu agak bundar.
 d). Setiap kepala mendapat bantuan Rp 10.000,00.
 e). Tamu kehormatan duduk di kepala meja.
makna polisemi, kata kepala pada kalimat (9a) adalah pemimpin (sekolah), pada kalimat (9b) adalah bagian atas/kertas surat, pada kalimat (9c) adalah menyerupai (bentuk) kepala, pada kalimat (9d) adalah ‘orang’, dan pada kalimat (9e) adalah ‘bagian utama dari meja’. Makna ‘pemimpin’ pada kalimat (9a) dengan kaitan makna leksikalnya adalah bahwa kepala merupakan bagian utama pada manusia, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kepala. Hal ini sama dengan sekolah, sebuah sekolah harus dipimpin oleh seorang kepala. Makna ‘bagian sebelah atas’ pada kalimat (9b) memiliki kaitan dengan kepala, yaitu bahwa kepala terletak di sebelah atas, sama dengan letaknya kepala surat itu yang juga di sebelah atas. Makna ‘menyerupai’ pada kalimat (9c) juga mempunyai kaitan dengan kepala, yaitu bahwa kepala berbentuk bulat, sama dengan kepala paku yang juga relatif bulat.
Kemudian, yang disebut makna asosiasi atau makna kias, juga mempunyai ‘kaitan semantik dengan makna leksikalnya. Misalnya kata bunga dalam kalimat (10) adalah berarti ‘gadis cantik’.
10   a). Aminah adalah bunga di desa kami.
Yang dikaitkan adalah kecantikan Aminah dengan keindahan bunga. gadis cantik diasosiasikan dengan bunga. Bunga di mana-mana disukai orang karena keindahannya, sedangkan gadis cantik karena kecantikannya, apalagi kalau ditambah keluwesannya.
Makna kontekstual dalam konteks situasi biasanya berbentuk ujaran. Maka makna ujaran itu bergantung pada konteks situasinya. Umpamanya ujaran “Sudah hampir pukul dua belas”. Ujaran tersebut bila diucapakan oleh seoarng ibu asrama putri pada malam hari, ditujukan pada seorang pemuda yang masih bertamu akan bermakna ‘permintaan atau peringatan agra pemuda tersebut harus segera pulang’. kalau diucapkan seorang ustadz siang hari di sebuah pondok pesantern akan bermakna ‘peringatan pada anak-anak bahwa sebentar lagi waktu shalat dzuhur akan tiba’. Jadi, ujaran, “Sudah hampir pukul dua belas” bukanlah bermakna memberitahukan soal waktu, melainkan memberitahukan yang lain berkenaan dengan waktu itu.
Konteks bidang pemakaian dapat kita lihat perbedaan makna kata servis pada kalimat-kalimat berikut:
11  a). Servisnya melambung tinggi.
b). Mobil ini selalu saya servis di bengkel itu.
c). Maskannya enak, harganya murah, servisnya pun memuaskan.
Kata servis pada kalimat (11a) berasal dari bidang olahraga maknanya adalah ‘pukulan bola pertama (pada permainan badminton atau tennis)’. Kata servis pada kalimat (11b) berasal dari bidang perbengkelan, maknanya adalah ‘perbaikan atau perawatan’. Sedangkan kata servis pada kalimat (11c) berasal dari bidang jasa, maknanya adalah ‘pelayanan’.
d.      Makna Idiomatik adalah makna suatu bentuk ujaran, bisa berupa kata gabungan kata (frase) atau klausa, yang tidak bisa dilacak secara leksikal maupun gramtikal. Umpamannya, gabungan afiks me-kan pada kata dasar adjektiva yang berfitur semantik [+keadaan], atau [+sikap] akan memberi makna gramatikal ‘membuat jadi…’ seperti terdapat pada kata mengalahkan, melebarkan, dan menakutkan tetapi pada kata menggalakkan, dan memenangkan tidak bermakna ‘membuat jadi…’, melainkan bermakna meningkatkan, menggiatkan’ pada kata menggalakkan dan ‘memperoleh’ pada kata memenangkan. Contoh lain, konfiks yang diimbuhkan pada kata dasar adjektiva berfitur semantik [+keadaan, sikap] memiliki makna gramatikal ‘hal…’, seperti terdapat pada kata ketakutan, kesedihan, dan keberanian. Namun, pada kata kemaluan tidak bermakna ‘hal malu …’, melainkan bermakna… (maaf, tentu anda sudah tahu sendiri).
Dalam bahasa Indonesia banyak kata dapati satuan ujaran baik berupa kata, gabungan kata, atau klausa yang bermakna idiomatik. Karena maknanya tidak bisa diprediksi secara leksikal maupun gramatikal, maka untuk memahaminya harus dipelajari melalui kamus, atau cara lainnya. Berikut diberikan sejumlah satuan ujaran yang bermakna idiomatik.
12.    - meninggal                             - berpulang                               - tertulang
         - memeras keringat                 - membanting tulang                  - keras kepala
         - air mata pengantin                - puteri malu
Sekarang kita kembali pada data yang diberikan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan yang dikatakan maknanya menyimpang harus ditelusuri satu persatu karena tidak dapat dipolakan. Pertama-tama harus kita pahami dulu, bahwa yang dimaksud dengan tidak bisa dipolakan adalah tidak bisa dikaidahkan secara gramatikal, dan yang disebut menyimpang adalah tidak sesuai dengan makna gramatikal yang seharusnya dimiliki. Benarkah yang disodorkan sebagai contoh adalah kata-kata yang maknanya menyimpang dari kaidah-kaidah, mari kita lihat.

 Mengenai kasus memperpanjang dan kata mengindahkan. Secara gramatikal kata memperpanjang bermakna ‘membuat lebih panjang’. Lalu, dalam penggunaan bahasa sekarang kata memperpanjang lazim diartikan sebagai ‘menambah masa berlaku’ (Alwi 1998:129). Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia makna kata memperpanjang telah menyimpang dari kaidahnya. Menurut kami makna ‘menambah masa berlaku’ memang bukan makna gramatikal, melainkan makna pemakaian atau penggunaan, yang secara semantik masih bisa ditelusuri sebagai makna polisemi. Yang bisa diperpanjang bukan hanya benda konkret seperti jalan raya atau landasan pesawat terbang, tetapi juga waktu atau masa berlakunya sesuatu.
Mengenai kata mengindahkan, secara gramatikal kata mengindahkan berarti ‘membuat jadi indah’, sama dengan makna gramatikal meluruskan, menguningkan, dan melemahkan. Namun, secara aktual kata mengindahkan dengan makna gramatikal tersebut tidak pernah ada, yang ada dengan makna tersebut adalah memperindah. Secara aktual kata mengindahkan muncul dengan makna ‘memperhatikan’, mempedulikan’.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk kata dasar mengindahkan dengan makna gramatikal ‘membuat jadi indah’, berbeda bentuk dasarnya dengan kata mengindahkan yang bermakna ‘memperhatikan, mempedulikan’. Jika demikian sebenarnya tidak ada penyimpangan makna pada kata mengindahkan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (1), yaitu:
-  Mempersoalkan                     - mempertunjukkan
-  Mempermasalahkan               - memperjualbelikan
Sebetulnya maknannya tidak menyimpang dan tidak perlu ditelusuri satu persatu, sebab masih mengikuti kaidah-kaidah dengan makna gramatikal ‘menjadi (x) bahan per-an’. Jadi:
- mempersoalkan                       =  menjadikan (x) bahan persoalan
- mempermasalahkan                 =  menjadikan (x) bahan permasalahan
- mempertunjukkan                   =  menjadikan (x) bahan pertunjukan
- memperjualbelikan                   = menjadikan  (x) bahan perjualbelian
Kata memper-kan pada halaman yang sama (hal.130) sebetulnya keliru pemberian makna gramatikalnya. Maka kata memperjuangkan bukan ‘berjuang untuk’,melainkan ‘melakukan perjuangan’. Sama maknanya dengan mempergunjingkan yang juga berarti ‘melakukan pergunjingan’, bukan ‘bergunjing tentang’. Sedangkan makna kata mempertanyakan juga bukan ‘bertanya tentang’ melainkan ‘menjadikan (x) bahan pertanyaan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (2)
- mengalah                    - menghilang                
- menjadi                      - menujuh hari
bisa diberi komentar begini. Kata mengalah dan menghilang memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘menjadi…’. Kalau penulis Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menyatakan maknanya menyimpang, barangkali karena dilihat dari makna penggunaan seperti tertera dalam kamus. Memang kita harus bisa membedakan antara makna gramatikal dengan makna konteks/penggunaan. Kata pemotong, misalnya, bermakna gramatikal ‘yang memotong’, atau ‘alat yang memotong’. Begitu juga dengan kata mengalah dan menghilang. Dalam penggunaan kata mengalah berarti ‘mengaku kalah’, dan kata menghilang berarti ‘tidak tampak lagi’.
Pada kata menjadi, juga tidak terjadi penyimpangan makna. Prefiks me- pada kata menjadi hanya berfungsi memformalkan kata itu, sebab dalam pemakaian dapat juga prefiks me- itu ditinggalkan dengan makna leksikal yang sama. Kalimat Dia dilantik menjadi lurah sama makna konteksnya dengan kalimat Dia dilantik jadi lurah.
Kata menujuh hari mempunyai pola makna yang sama dengan bentuk meniga hari, menyeratus hari, dan menyeribu hari, yakni acara peringatan (dengan doa dan kenduri) atas meninggalnya seseorang pada hari ke…Jadi, sebenarnya juga tidak ada penyimpangan makna.
Menganai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (3) yaitu:
- menarik                      - memikat                     - mencekam
bisa dikomentari bahwa makna ketiga kata itu pun tidak bermasalah. Kata menarik, dan memikat memiliki makna gramatikal ‘melakukan tarik’ dan ‘melakukan pikat’. Dalam penggunaannya kedua kata itu bisa bermakna gramatikal, seperti dalam kalimat
13.  Kerbau menarik bajak.
14.  Mereka memikat burung di sana.
Namun, bisa juga bermakna polisemi dengan objek yang abstrak, seperti dalam kalimat:
15.  Dia ingin menarik perhatian penonton.
16.  Kami akan menyajikan acara yang memikat.
Yang dikatakan menyimpang oleh Buku Tata Bahasa Baku barangkali kata-kata menraik dan memikat yang sebenarnya berkategori verba, telah meyimpang menjadi berkategori adjektiva, karena kedua kata itu bisa diawali kata sangat menjadi sangat menarik dan sangat memikat.
Mengenai kasus kata-kata pada nomor (4), yaitu:
-  pendirian                               - pendapatan
-  Pemandangan                        - pendengaran
Bisa diberi komentar, bahwa keempat kata itu memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘hal me-kan’, atau ‘proses me-kan’. Jadi:
- pendirian           =  hal atau proses mendirikan
- pendapatan        =  hal atau proses mendapatkan
- pemandangan    =  hal atau proses memandang
- pendengaran      =  hal atau proses mendengar

 Dalam penggunaannya kata pendirian memiliki makna ‘sikap batin’. Apakah makna ini menyimpang? Kiranya makna ‘sikap batin’ ini masih punya kaitan dengan makna gramatikal ‘hal mendirikan’, sebab yang didirikan bukan hanya ‘sesuatu yang konkret, seperti gedung dan jembatan, tetapi bisa juga yang abstrak seperti sikap batin itu. kata pendapatan dalam penggunaannya memiliki makna ‘(uang) yang didapat, penghasilan’. Mengapa bisa begitu? Karena hasil dari proses mendapatkan adalah sesuatu yang didapat atau dihasilkan. Jadi, makna gramatikal dan makna penggunaannya masih mempunyai hubungan atau keterkaitan. Kata pemandangan dalam penggunaannnya memiliki makna ‘yang dipandang (dilihat)’, atau ‘hasil memandang (melihat)’. Makna penggunaan ini pun masih mempunyai hubungan dengan makna gramatikalnya. Terakhir, kata pendengaran dalam penggunaannya memiliki makna ‘hasil mendengarkan’ atau ‘alat untuk mendengar’. Perhatikan makna kata pendengaran tersebut dalam kalimat:
17.  Menurut pendengaran saya mereka segera akan menikah.
18.  Agak sulit juga berbicara dengan oaring yang pendengarannya kurang seperti beliau.
Di sisi pun, antara makna gramatikal dan makna penggunaan masih ada keterkaitan, sebab ‘proses mendengarkan’ sebagai makna gramatikal dari pendengaran memerlukan ‘alat untuk mendengarkan ‘, dan memberikan ‘hasil dari mendengarkan’ itu.

Dari pembahasan di atas kiranya dapat ditarik komentar:
Pertama, kita harus bisa membedakan makna gramatikal yang memang berkaidah atau berpola dengan makna penggunaan yang biasanya berupa berbagai makna polisemi dari makna gramtikal itu.
Kedua, kita harus bisa membedakan antara makna yang secara inheren terdapat pada sebuah kata dengan bentuk sinonim dari kata itu.
Ketiga, makna yang menyimpang secara leksikal dan gramatikal hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang disebut idiom, baik yang berupa kata, gabungan kata ataupun klausa.



*)Disampaikan pada SPASI
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mahasiswa UNISDA Lamongan tahun 2008
di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur


DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------. 1997. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Nida, E.A. 1979. Componental Analysis of Meaning. The Haque: Mouton.
Slametmuljana. 1964. Semantik. Djakarta: Djambatan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar