PENYIMPANGAN MAKNA*)
Perlu dipahami Baik-Baik
Dalam
pembicaraan mengenai pembentukan kata melalui proses afiksasi, acapkali adanya
pendapat yang mengemukakan bahwa sejumlah kata bentukan yang maknanya
menyimpang dari pola makna kaidah yang berlaku, atau maknanya harus ditelusuri
satu persatu secara leksikal karena tidak bisa dicari polanya. Umpamanya, kata mempersempit,
memperluas, dan memperpendek memiliki pola makna yang sama yaitu
‘membuat lebih…’, tetapi kata memperpanjang bermakna ‘menambah masa
berlaku’ (Alwi 1998:129). Contoh lain kata meninggikan, memuliakan,
dan mensucikan memiliki pola makna yang sama, yaitu ‘membuat jadi…’,
tetapi kata mengindahkan bermakna ‘memperhatikan’. Kata-kata lain yang
dikatakan maknanya menyimpang atau tidak dapat dipolakan , antara lain adalah:
1. - mempersoalkan - mempermasalahkan
- mempertunjukkan - memperjualbelikan
2. - mengalah - menghilang - menjadi
3. - menarik - memikat - mencekam
4. - pendirian - pendapatan
- pemandangan - pendengaran
Masalah kita di sini adalah bagaimana kita harus menyikapi dan melihat
makna kata-kata turunan yang dikatakan menyimpang atau harus ditelusuri satu
persatu secara leksikal karena tidak bisa dipolakan atau tidak bisa masuk ke
dalam salah satu pola yang ada.
Kalau kita berbicara tentang makna
sebenarnya pertama-tama kita harus membedakan antara yang disebut (1) makna
leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna sintaktikal/kontekstual, dan (4)
makna idiomatikal. Tanpa memperhatikan dulu adanya pembedaan keempat macam
makna tersebut kita akan mengalami kesulitan dalam menganalisis makna sebuah
ujaran.
a. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki secara inheren oleh sebuah leksem/kata.
Misalnya, kata kuda adalah ‘sejenis hewan berkaki empat yang biasa
dikendarai’, makna leksikal kata spidol adalah ‘sejenis alat tulis
bertinta’, dan makna leksikal kata buaya adalah ‘sejenis hewan reptil
yang bisa hidup di darat dan di air’.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa untuk sekolah dasar dan menengah
makna leksikal ini sering disebut sebagai makna kamus. Konsep ini bisa juga
benar bisa juga tidak benar. Dikatakan benar kalau kamus yang dimaksud adalah
kamus dasar, sebab kamus dasar memang hanya menjelaskan makna kata dengan makna
leksikalnya. Namun, kalau kamusnya bukan kamus dasar, misalnya Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konsep tersebut menjadi tidak benar karena Kamus Besar selain
memberikan makna leksikal juga memberikan makna yang bukan makna leksikal,
yakni makna polisemi, makna konteks, dan makna idiomatik.
b. Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” dalam suatu proses gramatikal (proses
afiksasi, proses reduplikasi, proses komposisi, maupun proses kalimatisasi).
Dalam proses afiksasi kita lihat, misalnya pengimbuhan prefiks ber- pada
dasar kuda, memunculkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’; pengimbuhan
prefiks ber- pada dasar sepatu memunculkan makna gramatikal
‘memakai sepatu’, dan pengimbuhan pada dasar olahraga memunculkan makna
gramatikal ‘melakukan olahraga’, contoh lain dalam proses penggabungan
(komposisi) kata sate dengan kata ayam memunculkan makna
gramatikal ‘bahan sate’; dalam proses penggabungan kata sate dengan kata
Madura memunculkan makna gramatikal ‘asal sate’; dan dalam proses
penggabungan kata sate dengan kata lontong memunculkan makna
gramatikal ‘campuran sate’.
Makna
gramatikal ini dapat dicari kaidahnya atau polanya.misalnya prefiks ber-
jika diimbuhkan pada dasar yang berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan]
akan memunculkan makna ‘memakai’, seperti pada kata-kata:
5. berjilbab, berdasi, berjaket
kulit,
bergelang, bergiwang, berbulu
mata palsu.
Contoh lain prefiks me- bila diimbuhkan pada bentuk
dasar yang berfitur semantik [+sifat], [+keadaan] akan memunculkan makna
gramatikal ‘menjadi…’, seperti pada kata-kata:
6. membengkok, menguning,
meninggi, mengecil,
menjauh.
Contoh lain lagi,
konfiks ke-an bila diimbuhkan pada bentuk pada bentuk dasar yang
memiliki fitur makna [+keadaan sikap] memunculkan makna gramatikal ‘hal…’,
seperti pada kata-kata berikut:
7. keberanian, ketakutan,
kekecewaan, kebingungan,
kesedihan
Dari ketiga contoh di atas (nomor 5, 6, dan 7)
tampak bahwa makan gramatikal pada proses afiksasi ditentukan oleh fitur
semantik bentuk dasarnya. Makna-makna kata bentukan yang tidak bisa dikaidahkan
atau tidak bisa dimasukkan ke dalam satu bentuk kaidah, tentulah bukan bermakna
gramatikal
c. Makna kontekstual adalah makna sebuah
kata atau gabungan kata atau suatu ujaran di dalam konteks pemakaiannya.
Konteks di sini bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau konteks
bidang pemakaian.
Sebagai contoh makna kontekstual dalam konteks
kalimat, perhatikan makna kata mengambil pada kalimat-kalimat berikut.
8. a). Anak itu mengambil
buku saya.
b). Semester
ini saya belum mengambil mata kuliah kewiraan.
c). Kabarnya
Pak Lurah akan mengambil pemuda itu sebagai sopirnya.
d). Dalam
hal itu kami harus pandai-pandai mengambil kesempatan.
e). Tahun
depan kami akan mengambil 10 orang pegawai baru.
kata mengambil pada kalimat (8a) adalah
masih dalam makna leksikalnya yaitu menjemput sesuatu lalu membawanya, pada
kalimat (8b) kata mengambil bermakna kotekstual ‘mengikuti’, pada
kalimat (8c) bermakna ‘menjadikan’, pada kalimat (8d) bermakna ‘menggunakan’,
dan pada kalimat (8e) bermksud ‘menerima’.
Dalam studi semantik pelbagai makna yang dimiliki
oleh sebuah kata yang digunakan dalam konteks kalimat berbeda seperti
dicontohkan oleh kata mengambil pada kalimat-kalimat (8) di atas disebut
makna polisemi. Makna-makna polisemi ini mempunyai keterkaitan semantik
dengan makna leksikal dari kata yang dipolisemikan, termasuk keterkaitan
asosiasi dan perbandingan. Untuk jelasnya kita ambil kata kepala. Makna
leksikal kata kepala adalah ‘bagian tubuh manusia (binatang) dari leher
ke atas. Sekarang perhatikan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
9
a). Ibunya
menjadi kepala sekolah di Jakarta.
b). Nomor teleponnya ada pada kepala
surat itu.
c). Kepala paku itu agak
bundar.
d). Setiap kepala mendapat
bantuan Rp 10.000,00.
e). Tamu kehormatan duduk di kepala
meja.
makna polisemi, kata kepala pada kalimat (9a) adalah pemimpin
(sekolah), pada kalimat (9b) adalah bagian atas/kertas surat, pada kalimat (9c)
adalah menyerupai (bentuk) kepala, pada kalimat (9d) adalah ‘orang’, dan pada
kalimat (9e) adalah ‘bagian utama dari meja’. Makna ‘pemimpin’ pada kalimat
(9a) dengan kaitan makna leksikalnya adalah bahwa kepala merupakan bagian utama
pada manusia, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kepala. Hal ini sama
dengan sekolah, sebuah sekolah harus dipimpin oleh seorang kepala. Makna
‘bagian sebelah atas’ pada kalimat (9b) memiliki kaitan dengan kepala, yaitu
bahwa kepala terletak di sebelah atas, sama dengan letaknya kepala surat itu yang juga di
sebelah atas. Makna ‘menyerupai’ pada kalimat (9c) juga mempunyai kaitan dengan
kepala, yaitu bahwa kepala berbentuk bulat, sama dengan kepala paku yang juga
relatif bulat.
Kemudian, yang disebut makna asosiasi atau makna
kias, juga mempunyai ‘kaitan semantik dengan makna leksikalnya. Misalnya kata bunga
dalam kalimat (10) adalah berarti ‘gadis cantik’.
10 a). Aminah adalah bunga
di desa kami.
Yang dikaitkan adalah kecantikan Aminah dengan keindahan
bunga. gadis cantik diasosiasikan dengan bunga. Bunga di mana-mana disukai
orang karena keindahannya, sedangkan gadis cantik karena kecantikannya, apalagi
kalau ditambah keluwesannya.
Makna
kontekstual dalam konteks situasi biasanya berbentuk ujaran. Maka makna ujaran
itu bergantung pada konteks situasinya. Umpamanya ujaran “Sudah hampir pukul
dua belas”. Ujaran tersebut bila diucapakan oleh seoarng ibu asrama putri pada
malam hari, ditujukan pada seorang pemuda yang masih bertamu akan bermakna
‘permintaan atau peringatan agra
pemuda tersebut harus segera pulang’. kalau diucapkan seorang ustadz siang hari
di sebuah pondok pesantern akan bermakna ‘peringatan pada anak-anak bahwa
sebentar lagi waktu shalat dzuhur akan tiba’. Jadi, ujaran, “Sudah hampir pukul
dua belas” bukanlah bermakna memberitahukan soal waktu, melainkan
memberitahukan yang lain berkenaan dengan waktu itu.
Konteks bidang pemakaian dapat kita lihat perbedaan
makna kata servis pada kalimat-kalimat berikut:
11 a). Servisnya melambung
tinggi.
b). Mobil ini selalu saya servis di bengkel itu.
c). Maskannya enak, harganya murah, servisnya pun memuaskan.
Kata servis pada kalimat (11a) berasal dari
bidang olahraga maknanya adalah ‘pukulan bola pertama (pada permainan
badminton atau tennis)’. Kata servis pada kalimat (11b) berasal dari
bidang perbengkelan, maknanya adalah ‘perbaikan atau perawatan’. Sedangkan kata
servis pada kalimat (11c) berasal dari bidang jasa, maknanya adalah
‘pelayanan’.
d. Makna Idiomatik adalah makna suatu bentuk
ujaran, bisa berupa kata gabungan kata (frase) atau klausa, yang tidak bisa
dilacak secara leksikal maupun gramtikal. Umpamannya, gabungan afiks me-kan
pada kata dasar adjektiva yang berfitur semantik [+keadaan], atau [+sikap] akan
memberi makna gramatikal ‘membuat jadi…’ seperti terdapat pada kata mengalahkan,
melebarkan, dan menakutkan tetapi pada kata menggalakkan,
dan memenangkan tidak bermakna ‘membuat jadi…’, melainkan bermakna
meningkatkan, menggiatkan’ pada kata menggalakkan dan ‘memperoleh’ pada
kata memenangkan. Contoh lain, konfiks yang diimbuhkan pada kata dasar
adjektiva berfitur semantik [+keadaan, sikap] memiliki makna gramatikal ‘hal…’,
seperti terdapat pada kata ketakutan, kesedihan, dan keberanian.
Namun, pada kata kemaluan tidak bermakna ‘hal malu …’, melainkan
bermakna… (maaf, tentu anda sudah tahu sendiri).
Dalam bahasa Indonesia banyak kata dapati satuan
ujaran baik berupa kata, gabungan kata, atau klausa yang bermakna idiomatik.
Karena maknanya tidak bisa diprediksi secara leksikal maupun gramatikal, maka
untuk memahaminya harus dipelajari melalui kamus, atau cara lainnya. Berikut
diberikan sejumlah satuan ujaran yang bermakna idiomatik.
12. - meninggal -
berpulang -
tertulang
- memeras keringat - membanting tulang -
keras kepala
- air mata pengantin - puteri malu
Sekarang kita kembali pada data yang diberikan buku
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan yang dikatakan maknanya
menyimpang harus ditelusuri satu persatu karena tidak dapat dipolakan.
Pertama-tama harus kita pahami dulu, bahwa yang dimaksud dengan tidak bisa
dipolakan adalah tidak bisa dikaidahkan secara gramatikal, dan yang disebut
menyimpang adalah tidak sesuai dengan makna gramatikal yang seharusnya
dimiliki. Benarkah yang disodorkan sebagai contoh adalah kata-kata yang
maknanya menyimpang dari kaidah-kaidah, mari kita lihat.
Mengenai kasus memperpanjang dan kata mengindahkan.
Secara gramatikal kata memperpanjang bermakna ‘membuat lebih panjang’.
Lalu, dalam penggunaan bahasa sekarang kata memperpanjang lazim
diartikan sebagai ‘menambah masa berlaku’ (Alwi 1998:129). Menurut Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia makna kata memperpanjang telah
menyimpang dari kaidahnya. Menurut kami makna ‘menambah masa berlaku’ memang
bukan makna gramatikal, melainkan makna pemakaian atau penggunaan, yang secara
semantik masih bisa ditelusuri sebagai makna polisemi. Yang bisa diperpanjang
bukan hanya benda konkret seperti jalan raya atau landasan pesawat terbang,
tetapi juga waktu atau masa berlakunya sesuatu.
Mengenai kata mengindahkan, secara
gramatikal kata mengindahkan berarti ‘membuat jadi indah’, sama dengan makna
gramatikal meluruskan, menguningkan, dan melemahkan.
Namun, secara aktual kata mengindahkan dengan makna gramatikal tersebut tidak
pernah ada, yang ada dengan makna tersebut adalah memperindah. Secara aktual
kata mengindahkan muncul dengan makna ‘memperhatikan’, mempedulikan’.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk
kata dasar mengindahkan dengan makna gramatikal ‘membuat jadi indah’,
berbeda bentuk dasarnya dengan kata mengindahkan yang bermakna
‘memperhatikan, mempedulikan’. Jika demikian sebenarnya tidak ada penyimpangan
makna pada kata mengindahkan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (1),
yaitu:
- Mempersoalkan - mempertunjukkan
- Mempermasalahkan - memperjualbelikan
Sebetulnya maknannya tidak menyimpang dan tidak
perlu ditelusuri satu persatu, sebab masih mengikuti kaidah-kaidah dengan makna
gramatikal ‘menjadi (x) bahan per-an’. Jadi:
- mempersoalkan = menjadikan (x) bahan persoalan
- mempermasalahkan = menjadikan (x) bahan permasalahan
- mempertunjukkan = menjadikan (x) bahan pertunjukan
- memperjualbelikan =
menjadikan (x) bahan perjualbelian
Kata memper-kan
pada halaman yang sama (hal.130) sebetulnya keliru pemberian makna
gramatikalnya. Maka kata memperjuangkan bukan ‘berjuang untuk’,melainkan
‘melakukan perjuangan’. Sama maknanya dengan mempergunjingkan yang juga
berarti ‘melakukan pergunjingan’, bukan ‘bergunjing tentang’. Sedangkan makna
kata mempertanyakan juga bukan ‘bertanya tentang’ melainkan ‘menjadikan
(x) bahan pertanyaan.
Mengenai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (2)
- mengalah -
menghilang
- menjadi -
menujuh hari
bisa diberi komentar begini. Kata mengalah
dan menghilang memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘menjadi…’.
Kalau penulis Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menyatakan maknanya menyimpang,
barangkali karena dilihat dari makna penggunaan seperti tertera dalam kamus.
Memang kita harus bisa membedakan antara makna gramatikal dengan makna
konteks/penggunaan. Kata pemotong, misalnya, bermakna gramatikal ‘yang
memotong’, atau ‘alat yang memotong’. Begitu juga dengan kata mengalah
dan menghilang. Dalam penggunaan kata mengalah berarti ‘mengaku
kalah’, dan kata menghilang berarti ‘tidak tampak lagi’.
Pada kata menjadi,
juga tidak terjadi penyimpangan makna. Prefiks me- pada kata menjadi
hanya berfungsi memformalkan kata itu, sebab dalam pemakaian dapat juga prefiks
me- itu ditinggalkan dengan makna leksikal yang sama. Kalimat Dia
dilantik menjadi lurah sama makna konteksnya dengan kalimat Dia dilantik
jadi lurah.
Kata menujuh hari
mempunyai pola makna yang sama dengan bentuk meniga hari, menyeratus
hari, dan menyeribu hari, yakni acara peringatan (dengan doa dan
kenduri) atas meninggalnya seseorang pada hari ke…Jadi, sebenarnya juga tidak
ada penyimpangan makna.
Menganai kasus bentuk-bentuk kata pada nomor (3)
yaitu:
- menarik -
memikat - mencekam
bisa dikomentari bahwa makna ketiga kata itu pun tidak bermasalah. Kata menarik,
dan memikat memiliki makna gramatikal ‘melakukan tarik’ dan ‘melakukan
pikat’. Dalam penggunaannya kedua kata itu bisa bermakna gramatikal, seperti
dalam kalimat
13. Kerbau menarik bajak.
14. Mereka memikat burung
di sana.
Namun, bisa juga bermakna polisemi dengan objek yang abstrak, seperti
dalam kalimat:
15. Dia ingin menarik
perhatian penonton.
16. Kami akan menyajikan acara
yang memikat.
Yang dikatakan menyimpang oleh Buku Tata Bahasa
Baku barangkali kata-kata menraik dan memikat yang sebenarnya
berkategori verba, telah meyimpang menjadi berkategori adjektiva, karena kedua
kata itu bisa diawali kata sangat menjadi sangat menarik dan sangat
memikat.
Mengenai kasus kata-kata pada nomor (4), yaitu:
- pendirian - pendapatan
- Pemandangan - pendengaran
Bisa diberi komentar, bahwa keempat kata itu
memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu ‘hal me-kan’, atau ‘proses me-kan’.
Jadi:
- pendirian = hal atau proses mendirikan
- pendapatan = hal atau proses mendapatkan
- pemandangan = hal atau proses memandang
- pendengaran = hal atau proses mendengar
Dalam penggunaannya kata pendirian memiliki
makna ‘sikap batin’. Apakah makna ini menyimpang? Kiranya makna ‘sikap batin’
ini masih punya kaitan dengan makna gramatikal ‘hal mendirikan’, sebab yang
didirikan bukan hanya ‘sesuatu yang konkret, seperti gedung dan jembatan,
tetapi bisa juga yang abstrak seperti sikap batin itu. kata pendapatan
dalam penggunaannya memiliki makna ‘(uang) yang didapat, penghasilan’. Mengapa
bisa begitu? Karena hasil dari proses mendapatkan adalah sesuatu yang didapat
atau dihasilkan. Jadi, makna gramatikal dan makna penggunaannya masih mempunyai
hubungan atau keterkaitan. Kata pemandangan dalam penggunaannnya memiliki
makna ‘yang dipandang (dilihat)’, atau ‘hasil memandang (melihat)’. Makna
penggunaan ini pun masih mempunyai hubungan dengan makna gramatikalnya.
Terakhir, kata pendengaran dalam penggunaannya memiliki makna ‘hasil
mendengarkan’ atau ‘alat untuk mendengar’. Perhatikan makna kata pendengaran
tersebut dalam kalimat:
17. Menurut pendengaran
saya mereka segera akan menikah.
18. Agak sulit juga berbicara
dengan oaring yang pendengarannya kurang seperti beliau.
Di sisi pun, antara makna gramatikal dan makna
penggunaan masih ada keterkaitan, sebab ‘proses mendengarkan’ sebagai makna
gramatikal dari pendengaran memerlukan ‘alat untuk mendengarkan ‘, dan
memberikan ‘hasil dari mendengarkan’ itu.
Dari pembahasan di atas kiranya dapat ditarik komentar:
Pertama, kita harus bisa membedakan makna gramatikal yang
memang berkaidah atau berpola dengan makna penggunaan yang biasanya berupa
berbagai makna polisemi dari makna gramtikal itu.
Kedua, kita harus bisa membedakan antara makna yang
secara inheren terdapat pada sebuah kata dengan bentuk sinonim dari kata itu.
Ketiga, makna yang menyimpang secara leksikal dan
gramatikal hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang disebut idiom, baik yang
berupa kata, gabungan kata ataupun klausa.
*)Disampaikan pada SPASI
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mahasiswa UNISDA Lamongan tahun 2008
di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur
Mahasiswa UNISDA Lamongan tahun 2008
di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 1998. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai
Pustaka.
Chaer, Abdul. 1993. Gramatika
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
----------------.
1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------.
1997. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Nida, E.A. 1979. Componental
Analysis of Meaning. The Haque: Mouton.
Slametmuljana. 1964.
Semantik. Djakarta: Djambatan.
Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.